Senin, 05 Desember 2016

sejarah berdirinya muhammadiyah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
            Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) Pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923. Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan. Pada saat Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian Muhammadiyah, ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Ø  atas jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. 1 Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni:
Ø   Kyai Haji Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Ø  dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam., dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam
Ø  dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
Diasuh di lingkungan pesantren Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968).  Sejak kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy. Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah.
Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Al Hadist. Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). 3 Di samping itu, Kyai Haji Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. Kyai Haji Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Mendirikan Muhammadiyah semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya dari Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama belajar Makkah (1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam.
Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi untu melakukan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Berbagai tantangan ia hadapi sehubungan dengan gagasan pendirian Muhammadiyah itu. Bahkan ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Kiai palsu. Sampai ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Dahlan teguh pada pendiriannya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. bagaimana latar belakang berdirnya muhammadiyah
2.bagaimana proses berdirinya muhammadiyah
3.bagaimana proses tujuan dan pembaharuan muhammadiyah
1.3 TUJUAN MASALAH
1untuk mengetahui latar belakang berdirnya muhammadiyah
2.untuk mengetahui proses berdirinya muhammadiyah          
3.untuk mengetahui proses tujuan dan pembaharuan muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
 Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial, terutama pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta diselenggarakan dengan fasilitas yang amat sederhana. Sekolah kecil ini akhirnya menjadi titik awal munculnya organisasi secara formal pada tahun 1912 di bawah pimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah terus berangsur-angsur mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktifitas sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain sehingga pada akhirnya aktifitas dalam bidang sosial ini dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan soaial keagamaan yang memperoleh sukses besar.
 Ditinjau dari aspek tertentu, berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu kemunculan gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman, Muhammadiyah dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama kepada ajaran Tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik, takhayul, dan khurafat. Dalam versi lain gerakan ini sering disebut “gerakan purifakasi”. Sedangkan indikasinya sebagai gerakan ilmu dapat dilihat pada komitmennya terhadap persoalan pendidikan, di samping keberaniannya mendobrak tradisi lama untuk membuka kembali pintu ijtihad yang telah dinyatakan tertutup sejak Abad Pertengahan. Semenjak itu , sebagai gerakan Amal, Muhammadiyah berhasil mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat.
 terutama dapat dilihat dalam usaha menyantuni kaum dhu’afa, pelayanan kesehatan, dan lain-lain. Keberhasilan Muhammadiyah dalam gerakan sosial itu tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang menjadi dasar dan pedoman gerakan itu sendiri.
 Sebagai organisasi religius, Muhammadiyah menjadikan agama sebagai azas gerakan untuk menciptakan tatanan sosial yang baru dengan warna keagamaan. Dalam konteks sosiologis, harapan Muhammadiyah itu dapat saja dibenarkan, oleh karena agama dalam perspektif sosial dapat dilestarikan oleh masyarakat serta memeliharanya di hadapan manusia,karena ia memberi nilai bagi manusia. Dengan demikian, gerakan sosial Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan paham keagamaannya secara intensif.
B. Proses Berdirinya Muhammadiyah
Sebagai gerakan islam, tata nilai yang ditawarkan Muhammadiyah untuk merubah pola kehidupan sosial itu secara filosofis berdasarkan atas pemahamannya terhadap ajaran islam, yang disesuaikan dengan jiwa zamannya. Hal ini tentu tidak terlepas dari identitas gerakan ini,yaitu sebagai gerakan tajdid (pembaruan).  Menurut Muhammadiyah, secara umum kehidupan sosial termasuk ke dalam bidang gerakannya, berkenaan dengan masalah Mu’amalah Duniawiyah. Dalam persoalan ini, Muhammadiyah berusaha mencurahkan kemampuan akal secara optimal dengan berdasarkan pada  ajaran islam untuk kemaslahatan kehidupan sosial. Jadi, perubahan sosial yang diharapkan oleh Muhammadiyah adalah berperannya nilai-nilai agama (al-islam) secara fungsional dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak ada celah-celah kehidupan yang sunyi dari nilai-nilai ibadah.
 Untuk merealisasikan dasar pemikiran ini, Muhammadiyah menetapkan nilai-nilai dasar, baik yang berkenaan dengan aspek filosofis maupun yang berkenaan dengan aspek praktis (operasional).
 Nilai-nilai dasar yang berkenaan dengan aspek filosofis dirumuskan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, Kepribadian Muhammadiyah, Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Sedangkan yang menyangkut aspek praktis (operasional) dirumuskan dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyah.
Dalam realisasinya, nilai-nilai dasar tersebut akan dapat dilihat dalam identitas gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Yaitu sebagai gerakan islam, dakwah dan tajdid (pembaruan). Dengan demikian, maka Muhammadiyah dalam setiap gerakannya selalu terkandung tiga maksud, yaitu:
 1. Sebagai pengamalan islam itu sendiri.
2. Sebagai ajakan (dakwah) kepada segenap umat manusia untuk memahami dan        mengamalkan ajaran islam.
3. Sebagai evaluasi, koreksi dan interpretasi baru terhadap bebagai aktifitas pemikiran dan pengamalan yang pernah dilakukan.
Sasaran utama gerakan dan amal usaha Muhammadiyah dalam kehidupan sosial itu adalah untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-sebenarnya di mana kesejahteraan, kebaikan, dan kebahagiaan tersebar luas secara merata. Untuk mencapai cita-cita itu, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya sebagaimana prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah.
Pertama, hidup berdasarkan Tauhid, ibadah dan taat kepada Alloh. Makna yang terkandung dalam prinsip ini adalah bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, segala pemikiran dan tindakan yang dimunculkannya harus merupakan gerakan ibadah yang berdasarkan Tauhid. Jika Tauhid berperan sebagai jiwa, maka ibadah merupakan wujud nyata dan bangunan yang berdiri di atas pola dasar Tauhid itu. Dari sinilah kelihatan munculnya perumusan-perumusan tentang ibadah dalam pemaham keagamaan Muhammadiyah. Dalam hal ini, ibadah dirumuskan dalam dua pengertian, yaitu ibadah dalam arti khusus (Ibadah Mahdhah) dan ibadah dalam arti umum (Ibadah Ghairu Mahdhah). Ibadah dalam arti khusus adalah segala amal ibadah yang perincian, tingkah laku dan tata caranya telah ditetapkan oleh Alloh.
Kedua, hidup bermasyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan Sunnatullah, sesuai hokum Qudrat dan Iradat-Nya bagi manusia. Dalam membangun masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai oleh Alloh s.w.t., tentu Muhammadiyah tidak mungkin dapat berkerja dengan sendirian. Oleh sebab itu, hal ini mesti diusahakan dengan menjalin kerjasama dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya, terutama sekali yang memiliki hubungan aspiratif dengan Muhammadiyah. Sebagai gerakan sosial, Muhammadiyah dalam setiap langkah gerakannya harus secara sadar menempatkan diri sebagai suatu potensi umat. Adapun dalam konteks nasional, Muhammadiyah menempatkan diri sebagai unsur kekuatan bangsa. Sedangkan pada peringkat individu sebagai anggota Persyarikatan, dalam hal ini berarti apa yang dilakukan harus dalam kerangka hidup bermasyarakat. Keharusan dasar gerak dengan hidup bermasyarakat bagi Muhammadiyah juga didasari atas kondisi subjektif dan objektif organisasi itu sendiri. dan rahmat Alloh kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup hakiki di dunia dan akhirat.
 Ketiga, berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran islam. Muhammadiyah menjadikan perjuangannya untuk menjunjung tinggi, menyebarluaskan, dan mempertahankan agama islam sebagai dasar filosofis gerakannnya. Semangat perjuangan itu muncul karena adanya sejumlah perintah dan gambaran keutamaan berjuang di jalan Alloh. Berjuang di jalan Alloh memang selalu menjadi tuntunan sepanjang masa. Tuntunan itu muncul karena adanya dua faktor penting, yaitu :
a).  Faktor yang secara subyektif muncul dari diri seseorang yang beriman, meliputi:
1. Kesadaran akan kewajiban beribadah kepada Alloh untuk berbuat ikhsan dan ishlah kepada manusia / masyarakat.
2.  Pahamnya akan islam dengan sebenar-benarnya, dengan keyakinan akan keutamaan dan tepatnya sebagai sendi untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia / masyarakat.
 b). Faktor kondisi obyektif umat. Secara jelas dalam Penjelasan Muqaddimah dinyatakan : “Rusaknya masyarakat islam khususnya dan masyarakat umumnya, dikarenakan mininggalnya atau menyeleweng dari ajaran islam baik karena tidak mengetahui, salah atau kurang memahami ajaran agama islam yang sebenarnya, atau karena adanya usaha dari luar yang sengaja ingin merusak dan mengalahkan islam.
 Keempat, ittiba kepada langkah dan perjuangan Nabi s.a.w Muhammadiyah menjadikan Rasulullah s.a.w sebagai “ tauladan “ (uswah) perjuangan yang diikuti, sesuai dengan nama organisasi itu sendiri. Dalam berbuat sesuatu, tauladan itu, orang dapat memahami dan menghayati kenyataan sejarah atas norma-norma yang diyakini dan dijadikan pedoman hidupnya, bahkan ia akan mengikuti jejak-jejak mereka. Islam datang dengan ajaran yang lengkap, sekaligus Rasul sebagai tauladan pelaksanaan bagi umatnya. Perjuangan Rasul sebagai tauladan pelaksanaan bagi umatnya. Perjuangan Rasul dalam menegakkan agama penuh dengan kesungguhan, pengorbanan, rintangan, kesabaran, dan ketabahan, hanya semata-mata menuntut keridhaan Alloh. Hal seperti itulahyang mesti dihadapi oleh Muhammadiyah yang menamakan diri sebagai pengemban risalah Rasullullah. Semenjak kelahirannya,
 Kelima, keharusan beroganisasi. Organisasi merupakan fenomena modern bagi umat islam. Walaupun pada zaman Rasulullah belum terdapat tauladan untuk itu, namun kelihatannyanilai-nilainya sudah ada, seperti musyawarah untuk mufakat, tolong-menolong untuk berbuat baik dan taqwa. Penyiaran dan pengembangan agama islam tidak mungkin hanya dilaksanakan secara individual. Oleh sebab itu kehadiran suatu organisasi merupakan alternatif yang baik. Dengan memandang karena nilai-nilai positif dari organisasi itu, serta dengan dijiwai oleh firman Alloh Surat Ali Imron104, maka Muhammadiyah menjadikan organisasi sebagai satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya. Ketegasan Muhammadiyah untuk menjadikan organisasi sebagai satu-satunya alat, berdasarkan pula atas pemikiran tidak akan tegaknya amal baik yang wajib dilakukan tanpak organisasi, mendorong Muhammadiyah ber-ijtihad dengan menetapkan bahwa organisasi untuk melakukan kewajiban (perintah agama) adalah wajib. Pemikiran ini berdasarkan kaidah Ushul Fiqih, yaitu:’ Ma ala yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sesuatu kewajiban tidak diselesai kecuali dengan adanya suatu barang, maka barang itu hukumnya wajib). Pemahaman Muhammadiyah tentang perintah pembentukan “ummah” dalam surat Ali Imron 104 itu adalah bahwa “ummah” berarti satu golongan atau kelompok yang memiliki satu kesamaan kondisi, maksud, dan tujuan. Maksudnya mereka mesti bekerjasama.
 C. Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah
 Pada mulanya Muhammadiyah hanyalah sebuah kelompok kecil yang mepunyai misi agak bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan penduduk Indonesia. Namun Muhammadiyah merupakan kelompok yang terdiri dari orang-orang yang peuh pengabdian serta mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi atas tersebarnya apa yang mereka yakini sebagai ajaran yang benar dari Muhammad s.a.w. dan dalam rangka peningkatan kehidupan keagamaan mereka sendiri. Pada masa-masa awal sebelum dan setelah Muhammadiyah didirikan, Kyai Haji Ahmad Dahlan lebih menekankan usahanya dengan menginsyafkan beberapa 15 Orang keluarganya serta teman-teman sejawatnya di Yogyakarta dengan menyalurkan cara-cara berfikir baru melalui pengajian-pengajian dan ceramah agama.Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat melalui keterlibatannya dalam organisasi Budi Utomo dan Syarikat Islam (SI). Muhammadiyah secara resmi didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M, bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Para tokoh yang turut menjadi anggota pimpinan Muhammadiyah pada masa berdirinya itu adalah:
 1. Kyai Haji Ahmad Dahlan (Ketua)
2. Abbdullah Siradj (Sekretaris)
3. Haji Achmad 4. Haji Sarkawi
 5. Haji Muhammad
 6. Raden Haji Djaelani
7. Haji Anies
8. Haji Muhammad Pakih
 Pada tanggal 20 Desember 1912 organisasi baru ini mengajukan permohonan badan hukum kepada pemerintahan kolonial Belanda dengan dilengkapi Rancangan Anggaran Dasarnya. Namun pemerintah Belanda belum memberikannya, karena masih merasa keberatan atas territorial yang meliputi Jawa dan Madura yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Dasar itu. Atas nasehat Liefrinck-Resident kolonia Belanda di Yogyakarta dan Rinkers, seorang penasihat untuk urusan pribumi. Akhirnya Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No. 18, tertanggal 22 Agustus 1914 sebagai pengakuan secara legal atas berdirinya Muhammadiyah dengan wilayah operasionalnya terbatas pada residensi Yogyakarta. Setelah Muhammadiyah menerima Besluit tersebut, selanjutnya organisasi itu merumuskan tujuannya sebagai berikut:
Ø  Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w kepada penduduk Indonesia di dalam residensi Yogyakarta.
Ø  Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah memulai gerakannya secara sederhana. Pada mulanya kurang terlihat adanya pembagian kerja dengan tugas dari para pimpinanya yang terdiri dari sembilan orang itu. Menurut Deliar Noer (1991), hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya daerah aktifitas yang hanya meliputi Kauman Yogyakarta saja. Sampai pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah masih terbatas di kota Yogyakarta saja. Kegiatan yang dilaksanakann masih terbatas pengajian-pengajian dengan menteri keagamaan dan keorganisasian. Bertepatan menjelang diselenggarakannya Kongres ke-9 Budi Utomo pada tahun 1917, pembenahan administrasipun dimulai untuk menyambut pengembangan Muhammadiyah keluar Yogyakarta.Momentum yang sangat tepat telah diperoleh Muhammadiyah ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk ber-tabligh dalam konggres Budi Utomo. Tabligh Kyai Haji Ahmad Dahlan sangat menarik para peserta konggres yang banyak di antara mereka datang dari luar kota Yogyakarta, sehingga kemudian Muhammadiyah banyak menerima permohonan yang datang dari beberapa daerah diJawa untuk mendirikan cabangnya.Setelah keluarnya izin pemerintah untuk mendirikan cabang-cabangnya di luar Yogyakarta dan Jawa pada tahun 1921, maka mulailah gerakan tersebut meluas hingga ke Surabaya, Srandakan, Imogiri, Blora, Kepanjen,(cabang-cabangnya berdiri tahun 1921), Solo, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Banyuwangi, Jakarta, dan Garut (cabang-cabangnya berdiri tahun 1922). Pada tahun 1925 berdiri cabang Muhammadiyah di Kudus dan pada tahun itu juga, Muhammadiyah telah mendirikan cabangnya di Padang Panjang, Sumatera Barat. Hingga tahun 1938 cabang Muhammadiyah telah merata ke seluruh daerah di Hindia – Belanda.




















BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Munculnya gerakan pembaharuan di dunia islam secara umum merupakan pengaruh dari perubahan sosial orang Barat, yang disebabakan oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sementara itu pada saat yang sama kejayaan umat islam yang telah berabab-abab menguasai dunia semakin mundur. Kondisi itu terus berlanjut sehingga bangsa barat dapat menguasai dunia islam. Dalam keadaan semacam ini, muncullah para tokoh pembeharu islam yang berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan islam. Mereka berusaha menyadarkan umat islam agar dapat lepaskan diri dari dominasi Barat dan mengejar ketertinggalan dengan menyesuaikan diri pada kondisi yang ada. Gerakan ini mulai muncul pada awal abad ke-19 M. Dan kemudian dikenal dengan nama “gerakan pembaruan” dalam islam.
Untuk mengembangkan ide-ide pembaharuannya, Muhammadiyah melaksanakan berbagai gerakan sosial dengan mendirikan berbagai amal usaha, seperti lembaga pendidikan,  panti asuhan, rumah sakit, badan usaha perekonomian, dan lain-lain. Melalui berbagai amal usaha sosial ini, Muhammadiyah segera dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat, dan semakin banyak anggota sertsosialnya simpatisannya, sehingga amal usaha Muhammadiyah memperoleh kemajuan yang pesat. Semua amal usaha Muhammadiyah yang merupakan realisasi dari gerakan sosialnya itu, dimaksudkan untuk mengamalkan perintah Alloh dan itttiba kepada Rasul-Nya. paham Muhammadiyah sepenuhnya disandarkan kepada ajaran Akhlaq yang bersumber pada al-Qu’an dan as-Sunnah di mana Rasullah sebagai al-uswah dan al-hasanah dengan menolak segala bentuk ajaran Akhlaq hasil pemikiran manusia. Dalam bidang ibadah, Muhammadiyah juga secara ketat merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung. Tetapi persoalan yang muncul kemudian adalah kesiapan Muhammadiyah sendiri, terutama dari segi sumber manusia yang akan menjadi penggerak utama untuk menghadapi perubahan dan perkembangan.








DAFTAR PUSTAKA

Fajarbudiman,2012.http://dfajarbacktonature.blogspot.co.id.diakses pada tanggal 5 desember 2016. (18;30 wib).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar