BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Kyai
Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) Pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan (bernama kecil
Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji
kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi
Muhammadiyah pada 18 November 1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada
usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923. Kyai Haji Ahmad Dahlan
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan
Islam di nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir
dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia
mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai
organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang
pendidikan. Pada saat Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian Muhammadiyah,
ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik dari keluarga
dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama
baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Ø atas jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam
membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan,
maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional
dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. 1 Penetapannya sebagai
Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni:
Ø Kyai Haji Ahmad
Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Ø dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya,
telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan
dasar iman dan Islam., dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori
amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan
kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam
Ø dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita
(Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan.
Diasuh di
lingkungan pesantren Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor
penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan
ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat
penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Ia anak keempat dari tujuh orang
bersaudara, lima saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik
bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di
Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla
bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru
Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad
Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana
Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968). Sejak
kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya
pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah
menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama
dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam
pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy.
Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan
corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah.
Bertujuan
untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia
Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang
sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan
dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman
keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan
purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan
al-Al Hadist. Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat
berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua
kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa
guru di Makkah hingga tahun 1904. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti
Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah,
kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah
(Kutojo dan Safwan, 1991). 3 Di samping itu, Kyai Haji Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum,
adik Kyai Munawwir Krapyak. Kyai Haji Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Mendirikan Muhammadiyah semangat, jiwa dan
pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya dari Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama belajar Makkah
(1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak
keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui
pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang
masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam.
Pada tahun
1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi untu
melakukan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Berbagai tantangan ia hadapi
sehubungan dengan gagasan pendirian Muhammadiyah itu. Bahkan ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Kiai palsu. Sampai ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya
dengan sabar. Dahlan teguh pada pendiriannya.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. bagaimana latar belakang berdirnya muhammadiyah
2.bagaimana proses berdirinya muhammadiyah
3.bagaimana proses tujuan dan pembaharuan muhammadiyah
1.3 TUJUAN
MASALAH
1untuk mengetahui latar belakang berdirnya
muhammadiyah
2.untuk mengetahui
proses berdirinya muhammadiyah
3.untuk mengetahui proses tujuan dan pembaharuan
muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah
berkecimpung dalam bidang sosial, terutama pendidikan. Sekolah yang pertama
didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta
diselenggarakan dengan fasilitas yang amat sederhana. Sekolah kecil ini akhirnya
menjadi titik awal munculnya organisasi secara formal pada tahun 1912 di bawah
pimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah
terus berangsur-angsur mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktifitas
sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain
sehingga pada akhirnya aktifitas dalam bidang sosial ini dapat menjadikan
Muhammadiyah sebagai gerakan soaial keagamaan yang memperoleh sukses besar.
Ditinjau dari aspek tertentu, berdirinya Muhammadiyah
merupakan suatu kemunculan gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman,
Muhammadiyah dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama
kepada ajaran Tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik, takhayul,
dan khurafat. Dalam versi lain gerakan ini sering disebut “gerakan purifakasi”.
Sedangkan indikasinya sebagai gerakan ilmu dapat dilihat pada komitmennya
terhadap persoalan pendidikan, di samping keberaniannya mendobrak tradisi lama
untuk membuka kembali pintu ijtihad yang telah dinyatakan tertutup sejak Abad
Pertengahan. Semenjak itu , sebagai gerakan Amal, Muhammadiyah berhasil
mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat.
terutama dapat dilihat dalam usaha menyantuni
kaum dhu’afa, pelayanan kesehatan, dan lain-lain. Keberhasilan Muhammadiyah
dalam gerakan sosial itu tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang menjadi dasar
dan pedoman gerakan itu sendiri.
Sebagai organisasi religius, Muhammadiyah
menjadikan agama sebagai azas gerakan untuk menciptakan tatanan sosial yang
baru dengan warna keagamaan. Dalam konteks sosiologis, harapan Muhammadiyah itu
dapat saja dibenarkan, oleh karena agama dalam perspektif sosial dapat
dilestarikan oleh masyarakat serta memeliharanya di hadapan manusia,karena ia
memberi nilai bagi manusia. Dengan demikian, gerakan sosial Muhammadiyah tidak
dapat dipisahkan dari keterlibatan paham keagamaannya secara intensif.
B. Proses Berdirinya Muhammadiyah
Sebagai
gerakan islam, tata nilai yang ditawarkan Muhammadiyah untuk merubah pola
kehidupan sosial itu secara filosofis berdasarkan atas pemahamannya terhadap
ajaran islam, yang disesuaikan dengan jiwa zamannya. Hal ini tentu tidak
terlepas dari identitas gerakan ini,yaitu sebagai gerakan tajdid (pembaruan). Menurut Muhammadiyah, secara umum kehidupan
sosial termasuk ke dalam bidang gerakannya, berkenaan dengan masalah Mu’amalah
Duniawiyah. Dalam persoalan ini, Muhammadiyah berusaha mencurahkan kemampuan akal
secara optimal dengan berdasarkan pada ajaran islam untuk kemaslahatan kehidupan
sosial. Jadi, perubahan sosial yang diharapkan oleh Muhammadiyah adalah
berperannya nilai-nilai agama (al-islam) secara fungsional dalam segala segi
kehidupan, sehingga tidak ada celah-celah kehidupan yang sunyi dari nilai-nilai
ibadah.
Untuk merealisasikan dasar pemikiran ini,
Muhammadiyah menetapkan nilai-nilai dasar, baik yang berkenaan dengan aspek
filosofis maupun yang berkenaan dengan aspek praktis (operasional).
Nilai-nilai dasar yang berkenaan dengan aspek
filosofis dirumuskan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, Kepribadian Muhammadiyah,
Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Sedangkan yang menyangkut aspek praktis
(operasional) dirumuskan dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyah.
Dalam
realisasinya, nilai-nilai dasar tersebut akan dapat dilihat dalam identitas
gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Yaitu sebagai gerakan islam, dakwah dan
tajdid (pembaruan). Dengan demikian, maka Muhammadiyah dalam setiap gerakannya
selalu terkandung tiga maksud, yaitu:
1. Sebagai pengamalan islam itu sendiri.
2. Sebagai
ajakan (dakwah) kepada segenap umat manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam.
3. Sebagai
evaluasi, koreksi dan interpretasi baru terhadap bebagai aktifitas pemikiran
dan pengamalan yang pernah dilakukan.
Sasaran
utama gerakan dan amal usaha Muhammadiyah dalam kehidupan sosial itu adalah
untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-sebenarnya di mana
kesejahteraan, kebaikan, dan kebahagiaan tersebar luas secara merata. Untuk
mencapai cita-cita itu, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya
sebagaimana prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah.
Pertama,
hidup berdasarkan Tauhid, ibadah dan taat kepada Alloh. Makna yang terkandung
dalam prinsip ini adalah bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, segala
pemikiran dan tindakan yang dimunculkannya harus merupakan gerakan ibadah yang
berdasarkan Tauhid. Jika Tauhid berperan sebagai jiwa, maka ibadah merupakan
wujud nyata dan bangunan yang berdiri di atas pola dasar Tauhid itu. Dari
sinilah kelihatan munculnya perumusan-perumusan tentang ibadah dalam pemaham
keagamaan Muhammadiyah. Dalam hal ini, ibadah dirumuskan dalam dua pengertian,
yaitu ibadah dalam arti khusus (Ibadah Mahdhah) dan ibadah dalam arti umum
(Ibadah Ghairu Mahdhah). Ibadah dalam arti khusus adalah segala amal ibadah
yang perincian, tingkah laku dan tata caranya telah ditetapkan oleh Alloh.
Kedua, hidup
bermasyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan Sunnatullah, sesuai hokum Qudrat
dan Iradat-Nya bagi manusia. Dalam membangun masyarakat utama, adil dan makmur
yang diridhai oleh Alloh s.w.t., tentu Muhammadiyah tidak mungkin dapat
berkerja dengan sendirian. Oleh sebab itu, hal ini mesti diusahakan dengan
menjalin kerjasama dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya, terutama sekali
yang memiliki hubungan aspiratif dengan Muhammadiyah. Sebagai gerakan sosial,
Muhammadiyah dalam setiap langkah gerakannya harus secara sadar menempatkan
diri sebagai suatu potensi umat. Adapun dalam konteks nasional, Muhammadiyah
menempatkan diri sebagai unsur kekuatan bangsa. Sedangkan pada peringkat
individu sebagai anggota Persyarikatan, dalam hal ini berarti apa yang
dilakukan harus dalam kerangka hidup bermasyarakat. Keharusan dasar gerak
dengan hidup bermasyarakat bagi Muhammadiyah juga didasari atas kondisi
subjektif dan objektif organisasi itu sendiri. dan rahmat Alloh kepada manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup hakiki di dunia dan akhirat.
Ketiga, berjuang untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi ajaran islam. Muhammadiyah menjadikan perjuangannya untuk
menjunjung tinggi, menyebarluaskan, dan mempertahankan agama islam sebagai
dasar filosofis gerakannnya. Semangat perjuangan itu muncul karena adanya
sejumlah perintah dan gambaran keutamaan berjuang di jalan Alloh. Berjuang di
jalan Alloh memang selalu menjadi tuntunan sepanjang masa. Tuntunan itu muncul
karena adanya dua faktor penting, yaitu :
a). Faktor yang secara subyektif muncul dari diri
seseorang yang beriman, meliputi:
1. Kesadaran
akan kewajiban beribadah kepada Alloh untuk berbuat ikhsan dan ishlah kepada
manusia / masyarakat.
2. Pahamnya akan islam dengan sebenar-benarnya,
dengan keyakinan akan keutamaan dan tepatnya sebagai sendi untuk mengatur hidup
dan kehidupan manusia / masyarakat.
b). Faktor kondisi obyektif umat. Secara jelas
dalam Penjelasan Muqaddimah dinyatakan : “Rusaknya masyarakat islam khususnya
dan masyarakat umumnya, dikarenakan mininggalnya atau menyeleweng dari ajaran
islam baik karena tidak mengetahui, salah atau kurang memahami ajaran agama islam
yang sebenarnya, atau karena adanya usaha dari luar yang sengaja ingin merusak
dan mengalahkan islam.
Keempat, ittiba kepada langkah dan perjuangan
Nabi s.a.w Muhammadiyah menjadikan Rasulullah s.a.w sebagai “ tauladan “
(uswah) perjuangan yang diikuti, sesuai dengan nama organisasi itu sendiri.
Dalam berbuat sesuatu, tauladan itu, orang dapat memahami dan menghayati
kenyataan sejarah atas norma-norma yang diyakini dan dijadikan pedoman
hidupnya, bahkan ia akan mengikuti jejak-jejak mereka. Islam datang dengan
ajaran yang lengkap, sekaligus Rasul sebagai tauladan pelaksanaan bagi umatnya.
Perjuangan Rasul sebagai tauladan pelaksanaan bagi umatnya. Perjuangan Rasul
dalam menegakkan agama penuh dengan kesungguhan, pengorbanan, rintangan,
kesabaran, dan ketabahan, hanya semata-mata menuntut keridhaan Alloh. Hal
seperti itulahyang mesti dihadapi oleh Muhammadiyah yang menamakan diri sebagai
pengemban risalah Rasullullah. Semenjak kelahirannya,
Kelima, keharusan beroganisasi. Organisasi
merupakan fenomena modern bagi umat islam. Walaupun pada zaman Rasulullah belum
terdapat tauladan untuk itu, namun kelihatannyanilai-nilainya sudah ada,
seperti musyawarah untuk mufakat, tolong-menolong untuk berbuat baik dan taqwa.
Penyiaran dan pengembangan agama islam tidak mungkin hanya dilaksanakan secara
individual. Oleh sebab itu kehadiran suatu organisasi merupakan alternatif yang
baik. Dengan memandang karena nilai-nilai positif dari organisasi itu, serta
dengan dijiwai oleh firman Alloh Surat Ali Imron104, maka Muhammadiyah
menjadikan organisasi sebagai satu-satunya alat atau cara perjuangan yang
sebaik-baiknya. Ketegasan Muhammadiyah untuk menjadikan organisasi sebagai
satu-satunya alat, berdasarkan pula atas pemikiran tidak akan tegaknya amal
baik yang wajib dilakukan tanpak organisasi, mendorong Muhammadiyah ber-ijtihad
dengan menetapkan bahwa organisasi untuk melakukan kewajiban (perintah agama)
adalah wajib. Pemikiran ini berdasarkan kaidah Ushul Fiqih, yaitu:’ Ma ala
yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sesuatu kewajiban tidak diselesai
kecuali dengan adanya suatu barang, maka barang itu hukumnya wajib). Pemahaman
Muhammadiyah tentang perintah pembentukan “ummah” dalam surat Ali Imron 104 itu
adalah bahwa “ummah” berarti satu golongan atau kelompok yang memiliki satu
kesamaan kondisi, maksud, dan tujuan. Maksudnya mereka mesti bekerjasama.
C.
Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah
Pada mulanya Muhammadiyah hanyalah sebuah
kelompok kecil yang mepunyai misi agak bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan
penduduk Indonesia. Namun Muhammadiyah merupakan kelompok yang terdiri dari
orang-orang yang peuh pengabdian serta mempunyai rasa tanggung jawab yang
tinggi atas tersebarnya apa yang mereka yakini sebagai ajaran yang benar dari
Muhammad s.a.w. dan dalam rangka peningkatan kehidupan keagamaan mereka sendiri.
Pada masa-masa awal sebelum dan setelah Muhammadiyah didirikan, Kyai Haji Ahmad
Dahlan lebih menekankan usahanya dengan menginsyafkan beberapa 15 Orang
keluarganya serta teman-teman sejawatnya di Yogyakarta dengan menyalurkan
cara-cara berfikir baru melalui pengajian-pengajian dan ceramah agama.Kegiatan-kegiatan
tersebut dapat dilihat melalui keterlibatannya dalam organisasi Budi Utomo dan
Syarikat Islam (SI). Muhammadiyah secara resmi didirikan di Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912 M, bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H oleh
Kyai Haji Ahmad Dahlan. Para tokoh yang turut menjadi anggota pimpinan
Muhammadiyah pada masa berdirinya itu adalah:
1. Kyai Haji Ahmad Dahlan (Ketua)
2. Abbdullah
Siradj (Sekretaris)
3. Haji
Achmad 4. Haji Sarkawi
5. Haji Muhammad
6. Raden Haji Djaelani
7. Haji
Anies
8. Haji
Muhammad Pakih
Pada tanggal 20 Desember 1912 organisasi baru
ini mengajukan permohonan badan hukum kepada pemerintahan kolonial Belanda
dengan dilengkapi Rancangan Anggaran Dasarnya. Namun pemerintah Belanda belum
memberikannya, karena masih merasa keberatan atas territorial yang meliputi
Jawa dan Madura yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Dasar itu. Atas nasehat
Liefrinck-Resident kolonia Belanda di Yogyakarta dan Rinkers, seorang penasihat
untuk urusan pribumi. Akhirnya Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan Besluit
No. 18, tertanggal 22 Agustus 1914 sebagai pengakuan secara legal atas
berdirinya Muhammadiyah dengan wilayah operasionalnya terbatas pada residensi
Yogyakarta. Setelah Muhammadiyah menerima Besluit tersebut, selanjutnya
organisasi itu merumuskan tujuannya sebagai berikut:
Ø Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w
kepada penduduk Indonesia di dalam residensi Yogyakarta.
Ø Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah memulai gerakannya secara sederhana.
Pada mulanya kurang terlihat adanya pembagian kerja dengan tugas dari para
pimpinanya yang terdiri dari sembilan orang itu. Menurut Deliar Noer (1991),
hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya daerah aktifitas yang hanya meliputi
Kauman Yogyakarta saja. Sampai pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah masih
terbatas di kota Yogyakarta saja. Kegiatan yang dilaksanakann masih terbatas
pengajian-pengajian dengan menteri keagamaan dan keorganisasian. Bertepatan
menjelang diselenggarakannya Kongres ke-9 Budi Utomo pada tahun 1917,
pembenahan administrasipun dimulai untuk menyambut pengembangan Muhammadiyah
keluar Yogyakarta.Momentum yang sangat tepat telah diperoleh Muhammadiyah
ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk ber-tabligh dalam
konggres Budi Utomo. Tabligh Kyai Haji Ahmad Dahlan sangat menarik para peserta
konggres yang banyak di antara mereka datang dari luar kota Yogyakarta,
sehingga kemudian Muhammadiyah banyak menerima permohonan yang datang dari
beberapa daerah diJawa untuk mendirikan cabangnya.Setelah keluarnya izin
pemerintah untuk mendirikan cabang-cabangnya di luar Yogyakarta dan Jawa pada
tahun 1921, maka mulailah gerakan tersebut meluas hingga ke Surabaya,
Srandakan, Imogiri, Blora, Kepanjen,(cabang-cabangnya berdiri tahun 1921),
Solo, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Banyuwangi, Jakarta, dan Garut
(cabang-cabangnya berdiri tahun 1922). Pada tahun 1925 berdiri cabang
Muhammadiyah di Kudus dan pada tahun itu juga, Muhammadiyah telah mendirikan
cabangnya di Padang Panjang, Sumatera Barat. Hingga tahun 1938 cabang
Muhammadiyah telah merata ke seluruh daerah di Hindia – Belanda.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Munculnya
gerakan pembaharuan di dunia islam secara umum merupakan pengaruh dari
perubahan sosial orang Barat, yang disebabakan oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi. Sementara itu pada saat yang sama kejayaan umat islam yang telah
berabab-abab menguasai dunia semakin mundur. Kondisi itu terus berlanjut
sehingga bangsa barat dapat menguasai dunia islam. Dalam keadaan semacam ini,
muncullah para tokoh pembeharu islam yang berusaha untuk membangkitkan kembali
kejayaan islam. Mereka berusaha menyadarkan umat islam agar dapat lepaskan diri
dari dominasi Barat dan mengejar ketertinggalan dengan menyesuaikan diri pada
kondisi yang ada. Gerakan ini mulai muncul pada awal abad ke-19 M. Dan kemudian
dikenal dengan nama “gerakan pembaruan” dalam islam.
Untuk mengembangkan
ide-ide pembaharuannya, Muhammadiyah melaksanakan berbagai gerakan sosial
dengan mendirikan berbagai amal usaha, seperti lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, badan usaha
perekonomian, dan lain-lain. Melalui berbagai amal usaha sosial ini,
Muhammadiyah segera dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat, dan semakin
banyak anggota sertsosialnya simpatisannya, sehingga amal usaha Muhammadiyah
memperoleh kemajuan yang pesat. Semua amal usaha Muhammadiyah yang merupakan
realisasi dari gerakan sosialnya itu, dimaksudkan untuk mengamalkan perintah
Alloh dan itttiba kepada Rasul-Nya. paham Muhammadiyah sepenuhnya disandarkan
kepada ajaran Akhlaq yang bersumber pada al-Qu’an dan as-Sunnah di mana
Rasullah sebagai al-uswah dan al-hasanah dengan menolak segala bentuk ajaran
Akhlaq hasil pemikiran manusia. Dalam bidang ibadah, Muhammadiyah juga secara
ketat merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung. Tetapi persoalan
yang muncul kemudian adalah kesiapan Muhammadiyah sendiri, terutama dari segi
sumber manusia yang akan menjadi penggerak utama untuk menghadapi perubahan dan
perkembangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Fajarbudiman,2012.http://dfajarbacktonature.blogspot.co.id.diakses
pada tanggal 5 desember 2016. (18;30 wib).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar